SELAMAT DATANG DI INIPOKER.COM MINIMAL DEPOSIT 15.000 MINIMAL WITHDRAW 25.000 DAN DAPATKAN BONUS CASH BACK 0.3% DI BAGIKAN 2 KALI DALAM SEMINGGU PetikMangga69 - RENI PEMBATU PALING MENGERTI AKU | PETIKMANGGA69

PetikMangga69 - RENI PEMBATU PALING MENGERTI AKU

RENI PEMBATU PALING MENGERTI AKU


PetikMangga69 - Selama 3 tahun berumah tangga, boleh dibilang aku tidak pernah berselingkuh. Istriku cantik, dan kami telah dianugerahi seorang anak lelaki berusia dua tahun. Rumah tangga kami boleh dibilang rukun dan bahagia, semua orang mengakui bahwa kami pasangan yang serasi.
Sebenarnya godaan cukup banyak. Bukannya sombong, sebagai laki-laki berusia sekitar 28 yang cukup ganteng, punya jabatan pula, kukira aku termasuk idola para wanita. Di kantor, misalnya, aku tahu ada satu-dua karyawati yang menyukaiku.

Tante Shinta, instruktur senam istriku, setiap kali bertemu pasti memberi sinyal-sinyal mengundang kepadaku, tapi tidak pernah kuladeni. Demikian pula Ibu Yessi, salah seorang rekanan bisnisku. Siapa sangka, akhirnya aku selingkuh juga. Yang lebih tidak dapat dimengerti, aku berselingkuh dengan pembantu!

Namanya Reni, umurny sekitar 20 tahun, asal Sukabumi. Wajahnya memang lumayan manis, lugu, ditambah lagi dengan kulitnya yang putih bersih. Tubuhnya agak kecil, tingginya sekitar 150 cm, tetapi sintal. Pinggangnya ramping, sementara pantatnya besar dan buah dadanya bulat montok.

Terus terang, aku sudah punya perasaan dan pikiran negatif sejak pertama kali dia diperkenalkan kepada kami oleh Bik Iroh, pembantu tetangga sebelah rumah. Entah bagaimana, ada desir-desir aneh di dadaku, terlebih lagi ketika kami beradu pandang dan dia mengulum senyum sembari menunduk.

Saat itu sebenarnya istriku merasa kurang sreg untuk menerima Reni bekerja. Naluri kewanitaannya mengatakan bahwa gadis itu type penggoda. Dia takut jangan-jangan akan banyak terjadi skandal dengan sopir-sopir dan para bujang di lingkungan kami. Tetapi kondisinya saat itu agak memaksa sebab istriku tiba-tiba harus berangkat ke luar negeri untuk urusan dinas, sementara pembantu kami baru saja pulang kampung.

Ternyata, skandal yang dikhawatirkan istriku itu benar-benar terjadi, tetapi justru dengan aku sendiri. Celakanya sampai saat ini aku tidak bisa menghentikan itu. Aku seperti mabuk kepayang. Harus kuakui, bersetubuh dengan Reni memang lain. Kenikmatannya tiada banding. Semakin sering aku menidurinya, rasanya malah bertambah nikmat.

Agar tidak terbongkar, aku segera mengambil langkah pengamanan. Hanya beberapa hari setelah istriku kembali dari luar negeri, Reni minta berhenti. Alasannya pulang kampung karena orang tuanya sakit keras. Tentu saja itu bohong. Yang betul adalah dia kuamankan di sebuah kamar kos yang letaknya tidak jauh dari kantorku. Aku juga membiayai semua kebutuhan sandang pangannya. Hampir setiap siang aku mampir ke sana untuk mereguk kenikmatan bersamanya. Kadang-kadang aku juga menginap satu-dua malam dengan alasan dinas ke luar kota. Dan itu telah berjalan hampir dua tahun sampai saat ini.

Hari pertama Reni bekerja di rumah kami, tidak ada kejadian yang berarti untuk diceritakan.Yang jelas, semua petunjuk dan instruksi dari istriku dilaksanakannya dengan sangat baik. Nampaknya dia cukup rajin dan berpengalaman, serta pandai pula menjaga anak.

Hari kedua, pagi-pagi sekali, aku berpapasan dengan Reni di muka pintu kamarnya. Aku sedang menuju ke kamar mandi ketika dia keluar kamar. Dia pasti baru selesai mandi karena tubuhnya menebarkan bau harum. Saat itu dia mengenakan rok span dan t-shirt ketat seperti yang umum dikenakan ABG zaman sekarang. Sexy sekali. Otomatis kelelakianku bangkit. Aku jadi seperti orang tolol, mematung diam sembari memandangi Reni. Sejenak gadis itu membalas tatapanku, lalu menunduk dengan muka memerah dadu. Aku lekas-lekas berlalu menuju kamar mandi.

Sehabis mandi, kudapati Reni sudah berganti pakaian, kembali mengenakan baju longgar dan sopan seperti kemarin. Keherananku segera terjawab ketika istriku bercerita di dalam kamar sembari bersungut-sungut:

“Gawat nih si Reni itu! Papa nggak lihat sih, pakaiannya tadiSexy banget! Jangan-jangan Papa juga bisa naksir kalau lihat.”
“Terus?” tukasku tak acuh.
“Yah Mama suruh ganti. Ingat-ingat ya Pa, selama Mama nggak ada, jangan kasih dia pakai baju yang sexy-sexy begitu!”

Hari ketiga, lewat tengah malam, aku bercumbu dengan istriku di ruang TV. Besok istriku berangkat untuk kurang lebih tiga minggu, jadi malam itu kami habiskan dengan bermesraan.Sebelumnya kami menonton film biru terlebih dahulu untuk lebih memancing birahi. Seperti biasa, kami bermain cinta dengan panas dan lama. Pada akhir permainan, di saat-saat menjelang kami mencapai orgasme, tiba-tiba aku merasa ada seseorang mengawasi kami di kegelapan. Aku tidak bercerita kepada istriku, sementara aku tahu, orang itu adalah Reni. Yang aku tidak tahu, berapa lama gadis itu menyaksikan kami bermain cinta.

Keesokan harinya, sore-sore, istriku berangkat ke Thailand. Aku mengantarnya ke airport bersama anak kami. Hari itu kebetulan Sabtu, jadi aku libur.

Pulang dari airport, kudapati Reni mengenakan t-shirt ketat berwarna pink yang kemarin. Jantungku langsung dag-dig-dug melihat penampilannya yang tak kalah menarik dibanding ABG-ABG Jakarta. Selintas aku teringat pesan istriku, tapi kenyataannya aku membiarkan Reni berpakaian seperti itu terus. Bahkan diam-diam aku menikmati keindahan tubuh Reni sementara dia menyapu dan membersihkan halaman rumah.

Hari kelima, pagi-pagi sekali, aku hampir tidak tahan. Aku melihat Reni keluar dari kamar mandi dengan hanya berlilitkan handuk di tubuhnya. Dia tidak melihatku. Kemaluanku langsung mengeras. Bayangkan saja, ketika istri sedang tidak ada, seorang gadis manis memamerkan keindahan tubuhnya sedemikian rupa. Maka, diam-diam aku menghampiri begitu dia masuk kamar.

Aneh, pintu kamarnya tidak ditutup rapat. Aku dapat melihat ke dalam dengan jelas melalui celah pintu selebar kira-kira satu centi. Apa yang kusaksikan di kamar itu membuat jantungku memompa tiga kali lebih cepat, sehingga darahku menggelegak-gelegak dan nafasku memburu. Aku menelan ludah beberapa kali untuk menenangkan diri.

Nampak olehku Reni sedang duduk di tepian ranjang. Handuk yang tadi meliliti tubuhnya kini tengah digunakannya untuk mengeringkan rambut, sementara tubuhnya dibiarkannya telanjang bulat. Sepasang buah dadanya yang montok berguncang-guncang. Lalu ia mengangkat sebelah kakinya dengan agak mengangkang untuk memudahkannya melap selangkangannya dengan handuk. Dari tempatku mengintip, aku dapat melihat rerumputan hitam yang tidak begitu lebat di pangkal pahanya.

Saat itu setan-setan memberi petunjuk kepadaku. Mengapa dia membiarkan pintunya sedikit terbuka seperti ini? Setelah menyaksikan aku bermain cinta dengan istriku, tidak mustahil kalau dia sengaja melakukan ini untuk memancing birahiku. Dia pasti menginginkan aku masuk Dia pasti akan senang hati menyambut kalau aku menyergap tubuhnya di pagi yang dingin seperti ini.

Ketika kemudian dia meremas-remas sendiri kedua payudaranya yang montok, sementara mukanya menengadah dengan mata terpejam, aku benar-benar tidak tahan lagi. Batang kemaluanku seakan berontak saking keras dan panjang, menuntut dilampiaskan hasratnya. Tanganku langsung meraih handle karena aku sudah memutuskan untuk masuk.

Pada saat itu tiba-tiba terdengar anakku menangis. Aku jadi sadar, lekas-lekas aku masuk ke kamar anakku. Tak lama kemudian Reni menyusul, dia mengenakan daster batik yang terbuka pada bagian pundak. Kurang ajar, pikirku, anak ini tahu betul dia punya tubuh indah. Otomatis batang kemaluanku mengeras kembali, tapi kutahan nafsuku dengan susah payah.

Alhasil, pagi itu tidak terjadi apa-apa. Aku keluar rumah untuk menghindari Reni, atau lebih tepatnya, untuk menghindari nafsu birahiku sendiri. Hampir tengah malam, baru aku pulang. Aku membawa kunci sendiri, jadi kupikir, Reni tidak akan menyambutku untuk membukakan pintu. Aku berharap gadis itu sudah tidur agar malam itu tidak terjadi hal-hal yang negatif.

Tetapi ternyata aku keliru. Reni membukakan pintu untukku. Dia mengenakan daster yang tadi pagi. Daster batik itu berpotongan leher sangat rendah, sehingga punggungnya yang putih terbuka, membuat darahku berdesir-desir. Lebih-lebih belahan buah dadanya sedikit mengintip, dan sebagian tonjolannya menyembul. Rambutnya yang ikal sebahu agak awut-awutan. Aku lekas-lekas berlalu meninggalkannya, padahal sejujurnya saat itu aku ingin sekali menyergap tubuh montoknya yang merangsang.

Sengaja aku mengurung diri di dalam kamar sesudah itu. Tapi aku benar-benar tidak dapat tidur, bahkan pikiranku terus menerus dibayangi wajah manis Reni dan seluruh keindahan tubuhnya yang mengundang. Entah berapa lama aku melamun, niatku untuk meniduri Reni timbul-tenggelam, silih berganti dengan rasa takut dan malu. Sampai tiba-tiba aku mendengar suara orang meminta-minta tolong dengan lirih

Tanpa pikir panjang, aku langsung melompat dari ranjang dan segera berlari ke arah suara. Ternyata itu suara Reni. Sejenak aku berhenti di muka pintu kamarnya, tetapi entah mengapa, kini aku berani masuk.

Kudapati Reni tengah meringkuk di sudut ranjang sambil merintih-rintih lirih. Aku tercekat memandangi tubuhnya yang setengah telanjang. Daster yang dikenakannya tersingkap di sana-sini, memamerkan kemulusan pahanya dan sebagian buah dadanya yang montok.

Sejenak aku mematung, menikmati keindahan tubuh Reni yang tergolek tanpa daya di hadapanku, di bawah siraman cahaya lampu kamar yang terang benderang. Otomatis kelelakianku bangkit. Hasratku kian bergelora, nafsu yang tertahan-tahan kini mendapat peluang untuk dilampiaskan. Dan setan-setan pun membujukku untuk langsung saja menyergap.

“Dia tidak akan melawan,” batinku.
“Jangan-jangan malah senang, karena memang itu yang dia harapkan…” Kuteguk liurku berulang-ulang sambil mengatur nafas.

Untuk sesaat aku berhasil mengendalikan diri. Kuraih pundak Reni, kuguncang-guncang sedikit agar dia terbangun.

Gadis itu membuka mata dengan rupa terkejut. Posisinya menelentang kini, sementara aku duduk persis di sisinya. Jantungku bergemuruh. Dengan agak gemetar, kutepuk-tepuk pipi Reni sambil berupaya tersenyum kepadanya.

“Kamu ngigo’ yaa?” godaku. Reni tersipu.
“Eh, Bapak?! Reni mimpi serem, Pak!”

Suaranya lirih. Gadis itu bangkit dari tidurnya dengan gerakan agak menggeliat, dan itu malah membuat buah dadanya semakin terbuka karena dasternya sangat tidak beraturan. Aku jadi semakin bernafsu.

“Mimpi apaan, Ren?” tanyaku lembut.
“Diperkosa!” jawab Reni sembari menunduk, menghindari tatapanku.
“Diperkosa siapa?”
“Orang jahat! Rame-rame!”
“Ooohkirain diperkosa saya!”
“Kalau sama Bapak Ren nggak serem¦!”

Aku jadi tambah berdebar-debar, birahiku semakin membuatku mata gelap. Kurapikan anak-anak rambut Reni yang kusut. Gadis itu menatapku penuh arti. Matanya yang bulat memandangku tanpa berkedip. Aku jadi semakin nekad.

“Kalau sama saya nggak serem?” tanyaku menegaskan dengan suara agak berbisik sambil mengusap pipi Reni. Babu manis itu tersenyum.

Entah siapa yang memulai, tahu-tahu kami sudah berciuman. Aku tidak peduli lagi. Kusalurkan gejolak birahi yang selama ini tertahan dengan melumat bibir Reni. Dia membalas dengan tak kalah panas dan bernafsu. Dia bahkan yang lebih dahulu menarik tubuhku sehingga kami rebah di atas ranjang sembari terus berciuman.

Tanganku lasak meremas-remas buah dada Reni. Kupuaskan hasratku pada kedua gundukan daging kenyal yang selama beberapa hari terakhir ini telah menggodaku. Reni pun tak tinggal diam. Sambil terus membalas lumatanku pada bibirnya, tangannya merayap ke balik celana pendek yang kukenakan. Pantatku diusap-usap dan diremasnya sesekali dengan lembut.

Ketika ciuman terlepas, kami berpandangan dengan nafas memburu. Reni membalas tatapanku dengan agak sayu. Bibirnya merekah, seakan minta kucium lagi. Kusapu saja bibirnya yang indah itu dengan lidah. Dia balas menjulurkan lidah sehingga lidah kami saling menyapu. Kemudian seluruh permukaan wajahnya kujilati. Reni diam, hanya tangannya yang terus merayap-rayat di balik celana dalamku.

Aku jadi tambah bernafsu. Lidahku merambat turun ke leher. Reni menggelinjang memberi jalan. Terus kujilati tubuhnya yang mulai berkeringat. Reni menggelinjang-gelinjang hebat ketika buah dadanya kujilati. “Geliii..” desisnya sambil mengikik-ngikik, dan itu malah membuatku tambah bernafsu. Daging-daging bulat montok itu terus kujilati, kukulum putingnya, kusedot-sedot dengan rakus, tentunya sambil kuremas-remas dengan tangan.

Payudara Reni yang lembut kurasa semakin mengeras, pertanda birahinya kian meninggi. Lebih-lebih putingnya yang mungil berwarna merah jambu, telah amat keras seperti batu. Aku jadi semakin bersemangat. Sesekali mulutku merayap-rayap menciumi permukaan perut, pusar dan turun mendekati selangkangannya.

Reni mulai merintih dan meracau, sementara tangannya mulai berani meraba batang kemaluanku yang telah menegang sedari tadi. Kurasakan pijitannya amat lembut, menambah rangsangan yang luar biasa nikmat. Aku tidak tahan, tanganku balas merayap ke balik celana dalamnya. Reni mengangkang, pinggulnya mengangkat. Kugosok celah memeknya dengan jari. Basah. Dia mengerang agak panjang ketika jari tengahku menyelusup ke dalam liang memeknya, batang penisku digenggamnya erat dengan gemas. Aku semakin tidak tahan, maka kubuka celana pendek dan celana dalamku sekaligus.

Reni langsung menyerbu begitu batang kemaluanku mengacung bebas tanpa penutup apa pun lagi. Dengan posisi menungging, digenggamnya batang kemaluanku, lalu dijilat-jilatnya ujungnya seperti orang menjilat es krim. Tubuhku seperti dialiri listrik tegangan tinggi. Bergetar, nikmat tak terkatakan.

“Reni udah tebak, pasti punya Bapak gede” desis Reni tanpa malu-malu.
“Isep, Reni!” kataku memberi komando.

Tanpa menunggu diminta dua kali, Reni memasukkan batang kemaluanku ke dalam mulutnya.

“Enak, Renenak banget” aku mendesis lirih, sementara tubuhku menggeliat menahan nikmat.

Reni semakin bersemangat mengetahui betapa aku menikmati hisapannya pada penisku. Batang kemaluanku dikocok-kocoknya dengan amat bernafsu sementara mulutnya mengulum dengan gerakan maju mundur. Sesekali lidahnya menjulur menjilat-jilat. Pintar sekali.


Belakangan baru kuketahui bahwa Reni itu seorang janda. Dia dipaksa kawin sejak usia 14 dengan lelaki berumur yang cukup kaya di desa. Ternyata suaminya seorang pemabuk, penjudi, dan mata keranjang. Satu-satunya yang disukai Reni dari lelaki itu adalah keperkasaannya di atas ranjang. Hanya itu yang membuatnya sanggup bertahan empat tahun berumah tangga tanpa anak. Baru setahun yang lalu suaminya meninggal, sehingga statusnya kini resmi menjadi janda.

Pantas saja nafsunya begitu besar. Dia mengaku bahwa hasrat seksualnya langsung bangkit kembali sejak pertama kali bertemu aku. Kenangan-kenangannya tentang kenikmatan bermain cinta terus menggodanya, sehingga diakuinya bahwa sejak hari itu dia terus berusaha untuk menarik perhatianku.

Nafsu yang menggebu-gebu, serta hasrat yang terpendam berhari-hari, membuat gadis itu menjadi liar tak terkendali. Sambil terus mengulum dan menjilat-jilat batang kemaluanku, tubuhnya beringsut-ingsut hingga mencapai posisi membelakangi dan mengangkangi tubuhku. Pantatnya yang bulat, besar seperti tampah, tepat berada di depan wajahku. Kuusap-usap pantatnya, lalu kuminta lebih mendekat sambil kuturunkan celana dalamnya. Dia menurut, diturunkannya pinggulnya hingga aku dapat mencium selangkangannya.

Terdengar dia mendesis begitu kujulurkan lidahku menyapu permukaan liang memeknya yang merekah basah. Kedua pahanya mengangkang lebih lebar, sehingga posisi pinggulnya menjadi lebih ke bawah mendekati mukaku. Kini aku lebih leluasa mencumbu kemaluannya, dan aku tahu, memang itu yang diharapkan Reni.

Kusibakkan bulu-bulu halus di seputar selangkangan babu cantik yang ternyata mempunyai libido besar itu. Kugerak-gerakkan ujung lidahku pada klitorisnya. Kuhirup baunya yang khas, lalu kukenyot bibir memeknya dengan agak kuat saking bernafsu. Reni merintih. Tubuhnya sedikit mengejang, hisapannya pada kemaluanku agak terhenti.

“Jangan berhenti dong, Maaaahh,” desisku sambil terus menjilat-jilat memeknya.
“Reni keenakan, Pak” jawab Reni terus terang. Lalu kembali dia mengulum sambil mengocok-ngocok batang kemaluanku. Dengan bernafsu dia terus berusaha menjejal-jejalkan batang penisku sepenuhnya ke dalam mulutnya, tetapi tidak pernah berhasil karena ukuran tongkat wasiatku itu memang cukup luar biasa: gemuk, dan panjangnya hampir 20 cm!

Aku membalas dengan merekahkan mulut memeknya dengan kedua tangan. Lubang surgawi itu menganga lebih lebar, maka kujulurkan lidahku lebih ke dalam. Reni membalas lagi dengan menghisap-hisap batang kemaluanku lebih cepat dan kuat. Aku tak mau kalah, kutekan pantatnya hingga kemaluannya menjadi lebih rapat pada mukaku, lalu kujilat dan kuhisap seluruh permukaan liang kemaluannya.

“OoooohhhReni nggak kuattt.” terdengar Reni mengerang tiba-tiba. Aku tak peduli. Aku justru jadi semakin bersemangat dan bernafsu mencumbu kemaluan Reni. Gadis itu juga kian liar. Tangan dan mulutnya semakin luar biasa cepat mengerjai batang kemaluanku, sementara tubuhnya menggeliat-geliat tak terkendali. Aku tahu birahinya telah teramat sangat tinggi, maka kukomandoi dia untuk rebah menelentang, lalu segera kutindihi tubuh montoknya.

“Enak, Ren?” tanyaku.
“Enak banget, PakReni nggak tahan”
“Kamu mau yang lebih enak, kan?”
“Ya mau, dong” Reni nampak masih sedikit malu-malu, tapi jelas dia tidak dapat lagi mengontrol nafsunya. Wajahnya yang biasanya lugu, kini nampak sebagai perempuan berpengalaman yang sedang haus birahi.
“Kamu pernah ngentot, Ren?” tanyaku lembut, takut dia tersinggung. Tapi dia malah tersenyum, cukup bagiku sebagai pengakuan bahwa dia memang sudah pernah melakukan itu.
“Kamu mau?” tanyaku lagi. Reni menutup matanya sekejap sebagai jawaban.
“Buka dulu dasternya, ya?”

Dalam sekejap, Reni telah bertelanjang bulat. Aku juga membuka kaos, sehingga tubuh kami sama-sama bugil. Polos tanpa sehelai benang pun. Reni memintaku mematikan lampu kamar, tapi aku menolak. Aku justru senang menonton keindahan tubuh Reni di bawah cahaya lampu yang terang benderang begitu.

“Malu, ah, Pak” kata Reni dengan nada manja, sementara aku memandangi sepasang payudaranya yang bulat, besar dan padat.
“Saya naksir ini sejak pertama kamu masuk,” kataku terus terang sambil mengecup puting susunya yang sebelah kanan, disusul dengan yang sebelah kiri.
“Reni tau,” jawab Reni tersipu. “Tapi Reni pikir, Bapak mana mau sama Reni?!”
“Sejak hari pertama, saya udah ngebayangin beginian sama kamu.”
“Kok sama sih?! Reni juga”
“Bohong!”
“Sumpah! Apalagi abis liat Bapak gituan sama IbuSeru banget, Reni jadi ngiri”
“Kamu ngintip, ya?”
“Bapak juga tau, kan?”

Sambil berkata begitu, tangan kanan Reni menggenggam batang penisku. Kedua pahanya mengangkang memberi jalan dan pinggulnya mengangkat sedikit. Digosok-gosokkannya ujung batang kemaluanku pada mulut memeknya yang semakin basah merekah.

Aku membalas dengan menurunkan pinggulku sedikit. Saat itu di benakku terlintas wajah istri dan anakku, tetapi nafsu untuk menikmati surga dunia bersama Reni membuang jauh-jauh segala keraguan. Bahkan birahiku semakin bergelora begitu aku memandang wajah Reni yang telah sedemikian sendu akibat birahi.

“Paaak.” terdengar desis suara Reni memanggilku teramat lirih. Kedua tangannya mengusap-usap sambil sedikit menekan pantatku, sementara batang penisku telah penetrasi sebagian ke dalam memeknya.

Kutekan lagi pinggulku lebih ke bawah. Batang penisku bergerak masuk inci demi inci. Kurasakan Reni menahan nafas. Kutahan sejenak, lalu perlahan justru kutarik sedikit pinggulku. Reni membuang nafas. Kedua tangannya mencengkeram pantatku. Aku mengerti, kutekan lagi pinggulku. Kembali Reni menahan nafas. Dua tiga kali kuulang seperti itu. Setiap kali, kemaluanku masuk lebih dalam dari sebelumnya. Dan itu membuat Reni keenakan. Dia mengakuinya terus terang tanpa malu-malu.

“Bapak pinter banget” desisnya sambil mencubit pantatku, sesaat setelah aku menekan semakin dalam.

Batang penisku telah hampir amblas seluruhnya. Reni cukup sabar menikmati permainanku, tetapi akhirnya dia tidak tahan.

“Reni rasanya kayak terbang” dia meracau.
“Kenapa?”
“EnakhMasukin semua atuh, Paaksupaya lebih enak” Berkata begitu, tiba-tiba kedua tangannya merangkul dan menarik leherku. Diciuminya mukaku dengan penuh nafsu.
“Imaaaahhh.” bisikku sambil membalas menjilat-jilat permukaan wajahnya.
“Paak”

Aku jadi ikut-ikutan tidak tahan, ingin segera menuntaskan permainan. Maka dengan agak kuat kutekan pantatku dalam-dalam, sehingga batang kemaluanku terbenam sepenuhnya di liang memek Reni. Anak itu mengerang lirih,

“Ssshhh. aaaahhhh, sssssssshhhh.., aaaaaaaahhhh.”

Dalam beberapa menit, kami bersanggama dalam posisi konvensional. Aku di atas, Reni di bawah. Itu pun sudah teramat sangat luar biasa nikmat. Ternyata Reni pintar sekali. Pinggulnya dapat berputar cepat seperti gasing, mengimbangi gerakan penetrasiku pada memeknya.

Setengah mati aku mengatur gerakan sembari terus mengendalikan kobaran birahiku. Kadang aku menekan dengan gerakan lembut satu-dua, sesekali kucepatkan dan kukuatkan seakan hendak menjebol dinding memek Reni.

Rupanya Reni termasuk type perempuan yang sangat panas dan liar dalam bermain cinta. Itulah justru yang kelak membuatku demikian tergila-gila kepadanya sampai-sampai tidak dapat lagi menghentikan perselingkuhan kami. Setiap kali aku berniat berhenti, bayangan erotisme Reni membuatku justru ingin mengulang-ulangnya kembali.

Tubuhnya tidak pernah berhenti bergoyang, seiring dengan erangan dan desahannya. Setiap kali aku menekan kuat-kuat, dia justru mengangkat pinggulnya tinggi-tinggi sehingga kemaluan kami menyatu serapat-rapatnya. Bila aku menekan dengan gerakan lembut satu-dua, dia mengimbangi dengan menggoyangkan pinggulnya seperti penari jaipong. Nikmatnya tak dapat kulukiskan dengan kata-kata.

Aku merasa dinding pertahananku hampir jebol. Kenikmatan luar biasa yang kurasakan dari perlawanan Reni yang erotis sungguh tidak tertahankan lagi. Padahal baru beberapa menit. Aku segera mengendalikan diri, kutarik nafas panjang-panjang, lalu kutarik tubuhku dari tubuh Reni.

Aku menelentang, dan kuminta Reni menaiki tubuhku. Dia menurut. Dengan gerakan yang sangat cepat, dia segera nangkring di atas tubuhku. Diraihnya batang kemaluanku yang terus mengacung keras seperti tugu batu, dan diarahkannya kembali pada liang memeknya.

Keringat menetes-netes dari wajahnya yang manis. Kuraih sepasang payudaranya yang bergelantung bebas, kuremas dan kuputar-putar dengan lembut. Reni mendesah sambil menekan pinggulnya agar batang kemaluanku melesak lebih dalam.

“Nggghhh.. sshhhh.aahhhh.,” kembali dia merintih dan mendesah.
“Kenapa, Maah?”
“Ennaakh, enak, Paak.”
“Kamu pinter.”
“Bapak yang pinter! Reni bisa ketagihan kalau enak beginiReni pingin ngentot terus sama Bapak…”
“Kita ngentot terus tiap hari, Reni”
“Bapak mau?”
“Asal Reni mau.”
“Reni mau banget atuh, Pak. Enak banget ngentot sama Bapak.”
“Ayo, genjot, Ren.. Kita main sampai pagi!”

Reni segera bergoyang lagi. Tubuhnya bergerak erotis naik-turun, maju-mundur, kiri-kanan, ditingkahi rintihan dan desahannya yang penuh nafsu. Aku diam saja, hanya sesekali kuangkat pantatku agar kemaluan kami bertaut lebih rapat. Akibatnya aku jadi lebih mampu bertahan. Dalam posisi seperti itu, aku tahu bahwa perempuan biasanya akan lebih cepat mencapai klimaks. Memang itu yang kuharapkan.

Perhitunganku tidak salah. Tidak terlalu lama, goyangan Reni semakin erotis dan menggila. Naik-turun, maju-mundur, dengan kecepatan yang fantastis. Erangan dan rintihannya pun semakin tidak terkendali. Aku jadi semakin bersemangat karena mengetahui dia akan segera mencapai orgasme.

“Paaak., adduuh, enak bangetenak bangetenak, Pak, yahyah, Reni enak”
“Saya juga enak, Maah, teruuusss.”
“Oooohhh. enak banget siihhh., adduuuhhh., adduuhh”
“Terus, Maahenak bangetenak ngentot ya, Maah…?”
“Enakh, ngentot enak, Reni seneng ngentot sama Bapak, penis Bapak enak”
“Memek kamu gurih”
“Ooohhhh, yah, yah, yah., Reni mau keluar, Paak, Reni nggak kuatts”

Tubuh Reni mengejang pada saat dia mencapai orgasme. Kepalanya mendongak jauh ke belakang. Mulutnya mengeluarkan rintihan panjang sekali. Saat itu kurasakan liang memeknya berdenyut-denyut, menambah kenikmatan yang fantastis pada batang kemaluanku.

Setelah itu dia menelungkup lunglai di atas tubuhku. Nafasnya memburu setelah menempuh perjalanan panjang yang membawa nikmat bersamaku. Kubiarkan sejenak dia menenangkan diri sementara kemaluan kami masih terus bertaut rapat. Sesaat kemudian, baru aku berbisik di telinganya,

“Saya belum lho, Ren?!”

Reni menengadah, mengangkat wajahnya menatapku. Dikecupnya bibirku.

“Kan mau sampai pagi?!” katanya dengan nada menggemaskan.
“Kamu mau istirahat dulu?”
“Nggakterus aja, Pak.. Reni masih keenakan, kok”

Sejenak kami berciuman. Dapat kurasakan jantung Reni masih bergemuruh, pertanda birahinya memang masih tinggi. Kuusap-usap pantatnya yang telanjang sementara kami berciuman rapat. Kemudian kugulingkan tubuhku, sehingga Reni kembali berada di bawah.

Kucabut batang kemaluanku dari memek Reni. Dia menatapku dengan rupa tidak mengerti. Kuberikan dia senyuman, lalu kuminta dia menelungkup. Reni mengerti sekarang, maka lekas-lekas dia menelungkup sambil cekikikan.

“Nungging, Ren” kataku memberi komando.

Reni mengangkat pinggulnya hingga menungging seperti permintaanku. Aku dapat melihat mulut memeknya yang merekah dari belakang. Kudekatkan mukaku, kucium mulut memeknya, dan kupermainkan klitorisnya sejenak dengan ujung lidah. Reni merintih lirih, pantatnya mengangkat lebih tinggi sehingga mulut memeknya merekah lebih lebar di depan mukaku. Kumasukkan lidahku lebih dalam, kemudian kusedot mulut memeknya sampai berbunyi.

“Bapak emang pinter banget…” desis Reni sembari menggelinjang menahan nikmat.

“Kita tancap lagi ya, Maah?!”
“Sampai pagi..?!”

Aku berlutut di belakang tubuh Reni yang menungging. Pantatnya mencuat tinggi ke belakang guna memudahkanku menusuk kemaluannya. Kedua tangannya mencengkeram sprei yang kusut. Kepalanya terkulai. Kudengar dia mendesah lirih ketika batang kemaluanku perlahan menerobos masuk lewat belakang.

Kedua tanganku mencengkeram pantat Reni. Sejenak aku berhenti. Reni menoleh ke belakang karena tidak sabar. Kutekan lagi perlahan-lahan, sehingga dia kembali mengerang dengan kepala terkulai ke depan. Aku berhenti lagi. Kuusap-usap pantatnya, kucengkeram agak kuat, lalu kurekahkan dengan kedua tangan. Reni menoleh lagi ke belakang.

Tepat pada saat itu aku menekan kuat-kuat. Deg! Tubuh Reni sampai terdorong ke depan. Dia langsung membalas memundurkan pantatnya, diputar-putar, berusaha keras agar batang penisku masuk lebih dalam. Agak susah karena ukurannya super king.

Kembali dia menoleh ke belakang. Kutekan lagi kuat-kuat! Kini Reni sudah siap. Bersamaan dengan gerakanku, dia menyambut dengan mendorong pantatnya kuat-kuat ke belakang. Slep! Batang kemaluanku menyeruak masuk. Kutahan sejenak, lalu kudorong lagi sekuat-kuatnya. Reni kembali menyambut dengan gerakan seperti tadi. Kali ini dia mengerang lebih keras karena batang penisku masuk hingga menyentuh dinding rahimnya.

“Sakit, Ren?” tanyaku.
“Nggakmalah enak, terusin, Paak Reni belum pernah main kayak gini”

Sambil menikmati bertautnya kemaluan kami, kupeluk erat tubuh Reni dari belakang. Kuciumi tengkuknya. Reni berusaha menoleh-noleh ke belakang, berharap aku menciumi bibirnya. Sesekali kuturuti permintaannya sambil meremas-remas kedua buah dadanya yang memuai semakin montok.

Kugerak-gerakkan pinggulku dengan irama lembut dan teratur, kunikmati bertautnya kemaluan kami dalam posisi “anjing kawin” itu sembari menciumi tengkuk dan leher Reni. Gadis itu menggeliat-geliatkan tubuhnya, pinggulnya bergoyang-goyang ke kiri dan ke kanan.

Beberapa menit kemudian, nafas Reni mulai memburu kembali. Itu pertanda birahinya mulai meninggi, mendaki puncak kenikmatannya kembali. Maka aku mulai mengambil posisi. Kedua tanganku berpegangan pada pinggang Reni, sementara dia pun mengatur posisi pinggulnya supaya lebih memudahkan aku. Setelah itu dia menoleh ke belakang memandangiku. Tatapannya amat sayu, dan aku tahu, itulah tatapan perempuan yang sedang tinggi birahinya.

Aku mulai bergerak maju mundur. Satu dua, dengan irama teratur. Nafas Reni semakin kencang terdengar, seiring dengan semakin kuatnya hunjaman batang kemaluanku pada liang memeknya. Aku memompa terus. Semakin lama semakin cepat dan kuat. Reni semakin terengah-engah. Tubuhnya berguncang-guncang, sesekali sampai terdorong jauh ke depan, tapi tidak sampai terlepas karena kutahan pinggangnya dengan kedua tangan.

Tubuh kami yang telanjang bulat dibanjiri peluh. Lebih-lebih Reni, keringatnya menciprat ke mana-mana karena tubuhnya berguncang-guncang. Itulah bagian dari erotisme Reni yang sangat aku suka. Belum pernah aku merasakan sensasi bersetubuh yang senikmat ini. Kurasakan ejakulasiku telah dekat, tapi kutahan sebisaku karena aku belum ingin segera menyudahi kenikmatan yang tiada tara ini. Kugigit bibirku kuat-kuat, sementara hunjaman penisku terus menguat dengan irama yang super cepat.

Reni semakin erotis. Nafasnya liar seperti banteng marah, erangannya bercampur dengan rintihan-rintihan jorok tiada henti.

“Ooohh, aaahhh, ohhh, aahhhh, teruuss, Paak, teruuusssss, Reni enak, enak bangetâ, adduuuh, Maak, Reni lagi keenakan nih, Maak, oohhhaaahhh, terus, Paakyahyahhhadduuuuh.. sssshhh. Maaak….., Reni lagi ngentot nih, Maak, enaknyahhh, adduuuhhh., ooohh, yaahhhyaahhhhhhh,, terruuuusssss”

Suara Reni keras sekali, tapi aku tidak peduli. Justru mendatangkan sensasi yang menambah nikmat. Toh tidak ada siapa-siapa di rumah ini, kecuali anakku yang sedang tidur lelap. Maka terus kucepatkan dan kukuatkan sodokan-sodokanku. Reni semakin tidak terkendali. Orgasmenya pasti sudah dekat, seperti aku juga.

Ketika kurasakan ejakulasiku telah semakin dekat, kucabut tiba-tiba penisku dari dalam liang surgawi Reni. Dengan gerak cepat, kubalikkan posisinya hingga menelentang, lalu secepat kilat pula kutindih tubuhnya dan kumasukkan kembali batang penisku. Reni menyambut dengan mengangkat pinggul agak tinggi, kedua pahanya mengangkang selebar-lebarnya memberi jalan.

Memeknya telah teramat sangat basah oleh lendir sehingga memudahkan batang penisku segera masuk. Tapi tetap saja aku harus menekan agak kuat karena mulut memeknya kecil seperti perawan, sementara batang kemaluanku besar dan keras seperti pentungan kayu.

Kurasakan spermaku telah menggumpal di ujung batang kemaluanku, siap untuk dimuntahkan. Kulihat Reni pun sudah hampir mencapai klimaks. Maka, langsung saja kutancap lagi, cepat, kuat, dan kasar. Reni menjerit-jerit mengiringi pencapaian puncak kenikmatannya.

“Ssshhh.. aaahhh, oooooohhh¦, penis Bapak enak banget siiihhh, adduuhhh., terruuusss, yaaaaahhh”Kami terdiam dengan tubuh menelentang sesudah itu.

Hanya desah nafas kami yang tersisa di tengah-tengah keheningan. Mataku tertumbuk pada jam dinding. Hampir pukul empat. Entah berapa jam aku telah menghabiskan waktu, mereguk kenikmatan bersama pembantu bernama Reni ini.

Pikiran warasku mulai kembali. Apa yang telah kulakukan ini? Mendadak muncul penyesalan di dalam hati, tetapi jujur harus kuakui betapa aku teramat sangat luar biasa menikmati perilaku yang gila ini.

Rupanya Reni pun mengalami gejolak perasaan serupa. Mulanya dia sangat menyesali perbuatan kami barusan, dia menangis terisak-isak sambil memiringkan tubuh membelakangiku. Aku sempat ketakutan.

“Kamu kenapa, Ren?” bisikku sambil merangkulnya dari belakang.

“Reni malu” jawab Reni di tengah isaknya yang semakin menjadi. Perlahan kubalikkan badannya. Lalu kupeluk dia erat-erat tanpa berkata apa pun, sampai tangisnya reda.

Berpelukan dalam keadaan bugil dengan gadis semanis Reni tentu saja membuat birahiku terangsang kembali. Batang kemaluanku mulai bangkit mengeras. Namun perkataan Reni membuatku tersadar. Seharusnya aku yang malu. Maka tanpa berkata berkata-kata lagi, kutinggalkan Reni seorang diri. Dalam hati aku bertekad untuk tidak akan pernah mengulang perbuatanku tadi.

Aku tidur nyenyak sekali sampai hampir pukul sebelas. Perjalanan panjang mendaki puncak kenikmatan membuat tidurku seperti orang mati. Tubuhku terasa segar sekali sesudah itu.

Kudapati Reni tengah bermain dengan anakku Gavin di ruang keluarga. Mengetahui aku sudah bangun, dia segera menyiapkan sarapan untukku: kopi susu hangat, roti isi kornet kesukaanku, serta dua butir telur ayam setengah matang. Walaupun dia tidak berkata apa pun, kurasakan kemesraan yang luar biasa dalam pelayanannya itu. Darahku kontan berdesir-desir. Apalagi saat itu dia mengenakan daster longgar yang amat pendek. Pahanya yang putih mulus serta tonjolan buah dadanya yang super montok membuatku hampir tidak tahan ingin memeluknya. Berani bertaruh, dia juga merasakan hasrat yang sama denganku.

Tapi aku sudah bertekad bulat untuk mengalahkan nafsuku sendiri. Kualihkan pikiran jorokku dengan berkonsentrasi membaca koran mingguan sembari menyantap sarapan yang disediakan Reni. Sesudah itu lekas-lekas aku pergi mandi. Aku harus menghindari kesempatan berduaan dengan Reni. Maka, siang itu aku pergi membawa Gavin ke rumah mertuaku.

“Nggak makan siang dulu?” tanya Reni perlahan sekali, suaranya seperti orang yang sangat merasa bersalah. Aku jadi kasihan. Seharusnya dia tidak perlu salah tingkah seperti itu, tetapi aku tidak mau membahasnya karena takut berdampak negatif.

Gavin bermain dengan riang gembira di rumah neneknya. Banyak yang menemani dia di sana. Aku jadi bebas beristirahat, tapi itu malah membuat banyak peluang untuk mengingat-ingat dan melamunkan Reni.

Sambil rebahan menatap langit-langit kamar, aku terbayang pada keindahan tubuh babu itu. Aku ingat bagaimana sexy-nya dia ketika mengenakan t-shirt ketat. Buah dadanya membusung, memamerkan ukurannya yang besar serta bentuknya yang bulat. Lalu terbayang ketika sepasang payudara itu telah kutelanjangi. Benar-benar montok dan bagus. Lingkar dadanya tidak besar, karena tubuh anak itu memang relatif mungil, tetapi bulatannya luar biasa montok dan kenyal.

Otomatis aku jadi membayangkan keseluruhan tubuh Reni yang telanjang. Anak itu mungil, tetapi dagingnya kenyal dan padat. Aku paling suka dadanya, tetapi yang lain-lain pun indah sekali. Kulitnya luar biasa halus mulus, putih seperti susu. Pinggul dan pantatnya besar, kontras dengan pinggangnya yang ramping.

Terakhir, yang membuat darahku serasa bergolak dan mulai memanas adalah bayangan indah kemaluan Reni: bentuknya yang tebal menggunung, bulu-bulu hitam keritingnya yang tidak terlalu lebat, sampai belahannya yang merah merekah dibasahi cairan lendir pelumas, dihiasi klitoris yang menyembul-nyembul.

Ahhh, aku tidak dapat lagi menghentikan lamunanku. Kucoba-coba membaca majalah untuk mengusir jauh-jauh bayangan Reni, tapi tidak berhasil. Batang kemaluanku yang sudah telanjur naik tidak mau turun-turun lagi. Aku jadi resah. Alih-alih bisa melupakan Reni, aku justru teringat betapa erotisnya dia ketika tengah kusetubuhi semalam.

Semua tergambar jelas di benakku, seakan-akan videonya diputar di langit-langit kamar. Birahiku naik semakin tinggi, teringat bagaimana tubuh telanjang Reni menggelepar-gelepar menikmati hunjaman batang penisku pada memeknya. Juga erangan-erangannya yang jorok. Aku benar-benar tidak tahan.

Tiba-tiba otakku mengkalkulasi waktu. Saat ini baru pukul satu lewat sedikit. Kalau kutinggalkan Gavin di rumah ini, lalu kujemput lagi nanti malam, maka aku akan punya waktu bebas setidaknya delapan jam bersama Reni!

Dengan kesadaran penuh, kumatikan akal sehatku. Aku pulang sendirian. Tentu saja Reni yang membukakan pintu pagar karena memang tidak ada orang lain lagi di rumah. Mengetahui tidak ada Gavin, dia memandangku dengan mata berbinar-binar. Aku pura-pura tidak tahu. Belakangan Reni mengakui bahwa saat itu dia girang sekali karena memang dia tengah mengharapkan aku datang sendirian tanpa Gavin. Sepanjang pagi dia menyesali apa yang telah kami lakukan semalam, tetapi sama seperti aku, ujung-ujungnya dia mengharapkan itu terulang kembali.

Rasa gengsi membuatku berusaha mengendalikan diri agar perasaanku tidak nampak. Aku tidak ingin Reni tahu bahwa aku ketagihan menidurinya. Dengan diam, aku langsung berlalu masuk kamar. Aku berharap Reni masuk, tetapi ternyata tidak. Lalu aku duduk di ruang keluarga menonton TV dengan mengenakan celana pendek dan kaos singlet. Kudengar suara Reni di dapur, kesal sekali rasanya karena dia tidak datang menemuiku. Apakah dia benar-benar menyesal sehingga tidak ingin mengulangi kenikmatan itu lagi?

Karena tidak tahan, akhirnya kupanggil dia. Dalam hati aku bertekad, biar aku “mengalah”, tapi nanti akan kubuat dia merengek-rengek.

Reni berjalan dengan mata menunduk menghampiriku. Batang penisku langsung bangun mengeras, tapi aku tetap tenang. Kupersilakan Reni duduk, setelah itu baru aku bicara.

“Ren, saya mau ngomong jujur sama kamu.”
“Ngomong apa, Pak?”
“Soal tadi malem, saya terus terang nyesel, Ren. Saya malu. Saya pikir, seharusnya kita nggak ngelakuin itu”
“Iya, apalagi Reni, malu banget sama Bapak”
“Saya kepingin ngelupain itu, Ren. Sejak tadi pagi, saya niat untuk nggak ngelakuin itu lagi. Dengan kamu, atau dengan siapapun selain istri saya. Tapi,”

Reni mengangkat wajah menunggu aku menyelesaikan kalimat.

“Tapi apa, Pak?” Dia penasaran. Aku tersenyum, lalu perlahan kuturunkan celana pendek beserta celana dalamku sekaligus.

Batang kemaluanku langsung berdiri tegak tanpa penghalang.

“Adik saya ini nggak mau disuruh ngelupain kamu!” kataku.

Kontan muka Reni memerah, kemudian dia tersenyum malu-malu. Tanpa kusuruh, dia bangkit lalu berlutut di hadapanku. Cepat dia melucuti celana pendek beserta celana dalamku. Kemudian batang penisku digenggamnya dengan dua tangan. Seperti orang melepas kangen, sekujur tongkat wasiatku itu diciuminya bertubi-tubi., sementara kedua tangannya mengurut-urut dengan lembut. Aku membalas dengan mengusap-usap rambutnya.

Sejenak Reni mengangkat wajah memandangku. Matanya mulai sayu, pertanda dia telah terserang birahi. Kemudian lidahnya menjulur panjang. Topi bajaku dijilatnya dengan satu sapuan lidah. Aku menggelinjang. Otomatis batang penisku mengedut, dan gerakan itu rupanya menambah gemas Reni. Lidahnya jadi semakin lincah menjilat-jilat. Buah zakarku pun kebagian. Aku semakin tidak kuat menahan nikmatnya. Kedua pahaku mengangkang lebih lebar, pinggulku mengangkat sedikit, dan itu dimanfaatkan Reni untuk terus menjilat-jilat sampai ke belahan pantatku. Gila, ternyata rasanya luar biasa nikmat! Belum pernah aku merasakan lubang pantatku dijilat seperti ini.

“Enak banget, RenKamu pinter banget,” aku mengaku terus terang.

Kembali Reni mengangkat wajah memandangku. Matanya semakin sayu. Sejenak dia mencoba tersenyum, ada rasa bangga di wajahnya bisa membuatku keenakan seperti itu. Lalu mulutnya menganga lebar, batang kemaluanku dikulumnya dengan lembut, masuk perlahan-lahan sampai tiga perempatnya.

“Gede banget, siiih??!” dia mendesis sambil menarik mulutnya dari batang penisku.
“Reni kepingin masukin semua, nggak bisa! Nggak muat!”

Aku tersenyum saja. Kutekan sedikit kepalanya, dia mengerti, kembali batang penisku dimasukkannya ke dalam mulut. Kali ini dijejal-jejalkannya terus, tapi tetap tidak berhasil karena ukurannya yang super besar memang tidak memungkinkan. Matanya memandangku lagi sementara mulutnya terus mengulum sembari mengocok-ngocok batang penisku dengan tangan. Aku memberinya senyuman membuat dia senang.

“Pak, Reni juga pingin ngomong jujur,” tiba-tiba Reni berkata. Kedua tangannya kembali mengurut-urut batang penisku dengan mesra, sementara matanya sayu menatapku.
“Ngomong apa?”
“Reni sempet malu karena tadi malem Reni kayak orang kesurupan. Reni emang gitu kalo’ bener-bener keenakan, Pak.”
“Tapi kamu nggak nyesel, kan?”
“Ya nggak. Reni cuma malu sama Bapak…”
“Emangnya enak ya, Ren?”

Reni tidak menjawab. Dia berdiri sembari menurunkan sendiri dasternya. Batang penisku kembali mengedut kuat, menyaksikan tubuh Reni menjadi telanjang, tinggal bercelana dalam. Sedari tadi dia memang tidak mengenakan BH. Kuraih tubuhnya agar lebih mendekat dengan melingkarkan kedua tanganku pada pantatnya yang bulat.

Reni menggeliat kecil sementara pantatnya kuusap-usap.

“Buka, ya?” kataku seraya menurunkan celana dalamnya, tanpa menunggu persetujuan.

Seketika kemaluannya terpampang telanjang di depan mukaku. Aku menengadah menatap matanya, dan dia tersipu. Mungkin malu, tangannya bergerak hendak menutupi selangkangannya, tapi kucegah.

“Memek kamu bagus,” kataku sambil membelai bulu-bulu hitam kemaluannya.

Otomatis pinggulnya meliuk, mungkin dia kegelian. Aku malah tambah senang, gantian lidahku yang mengusap pangkal pahanya. Tentu saja dia semakin kegelian.

Beberapa saat lidahku menari-nari di seputar perut dan pangkal pahanya. Reni menikmati perlakuanku dengan meliuk-liukkan pinggulnya. Kadang berputar perlahan, sesekali didorongnya maju mendesak mukaku. Aku jadi gemas, maka jemariku mulai beraksi. Reni mengangkang sambil menekuk lututnya sedikit ketika dirasakannya jari tengahku menyusup ke belahan memeknya yang mulai basah.

Dari satu jari, dua jariku masuk, disusul jari ketiga. Reni mulai merintih. Pinggulnya bergerak menjauh, tetapi ketika tusukan jemariku mengendur, dia justru memajukan lagi pinggulnya. Aku jadi semakin “hot” menggosok-gosok mulut memeknya dengan jari. Erangan dan desahan Reni mulai menjadi-jadi. Lututnya gemetar, mungkin tidak kuat menahan gelora birahi.

“Reni lemes” desisnya.

Tiba-tiba dia duduk mengangkang di pangkuanku. Tanpa ada rasa sungkan dan malu-malu lagi, leherku dipeluknya erat-erat sembari menyodorkan buah dadanya ke mukaku. Aku jadi gelagapan. Buah dadanya yang montok menutupi hampir seluruh wajahku. Reni mengikik. Dengan gemas, kugigit puting susunya sedikit, sehingga dia mengendurkan pelukannya. Baru aku lebih leluasa. Kuciumi buah dadanya yang sebelah kiri, kujilat dan kukenyot-kenyot putingnya, sementara yang kanan kuremas-remas dengan tangan. Kurasakan payudaranya mulai memuai semakin montok, dan putingnya mulai mengeras.

Sesekali aku juga menciumi sekitar ketiak Reni yang berkeringat. Aku suka bau badannya, harum seperti bayi. Keringatnya kuhisap dan kujilat-jilat. Reni menggelinjang semakin “hot”.

Beberapa saat kemudian, Reni menggerak-gerakkan pinggul dan meraih batang penisku. Sambil terus menikmati cumbuanku pada buah dadanya, dia berusaha menjejal-jejalkan batang penisku pada mulut memeknya. Tapi aku pura-pura tidak tahu. Dia mulai kesal, desahannya semakin kuat dengan erangan-erangan tertahan. Batang penisku terus digosok-gosokkannya di belahan memeknya yang basah, tetapi dia belum berhasil memaksanya masuk.

Kami lalu bertukar posisi. Aku bangkit, Reni duduk. Lalu kurebahkan tubuhnya. Dia melonjorkan sebelah kakinya di lantai, sementara yang sebelah lagi disangkutkannya di sandaran sofa. Posisinya itu membuat kemaluannya merekah, mempertontonkan belahannya yang merah basah. Kelentitnya menyembul. Aku tidak membuang waktu, langsung kucumbu kemaluannya dengan mulut dan lidah. Dia mengerang, “Uddaah, Paak.”

Aku tidak peduli karena aku memang masih ingin bermain-main. Reni sendiri mulai tidak terkendali. Tubuhnya mulai menggeliat-geliat dengan irama liar tak beraturan. Nafasnya memburu, mulutnya mengeluarkan desah dan erangan tak henti-henti. “Uddahh, Paak, uddaaaahhh, Reni nggak kuaattt”

Mengetahui dia mulai dikuasai birahi, aku justru tambah senang. Pantatnya kuangkat. Reni mengangkang lebih lebar, sehingga kemaluannya semakin merekah. Mulut memeknya menganga. Kusodokkan lidahku lebih dalam, kugoyang-goyang ujungnya dengan cepat, lalu kukenyot klitorisnya. Dia menjerit. Kembali kugosok-gosok seluruh dinding memeknya dengan lidah, sementara kelentitnya kutekan dan kuusap-usap dengan ibu jari. Lendirnya jadi semakin banyak, pertanda birahinya semakin tinggi.

Tiba-tiba Reni mengangkat pinggulnya tinggi-tinggi sambil menekan kepalaku kuat-kuat pada selangkangannya. Tubuhnya mengejang. Kutekan mulutku pada memeknya, lidahku menjulur lebih dalam, lalu kukenyot dengan suatu hisapan panjang. Terdengar erangan Reni. Tubuhnya menggelepar-gelepar menyongsong detik-detik pencapaian orgasmenya, kutambah nikmatnya dengan terus mengenyot mulut memeknya yang asin berlendir.

Setelah itu tubuh Reni agak sedikit lunglai. Nafasnya memburu. Kutindihi tubuh bugilnya. Kuciumi mukanya yang berkeringat. Dia tersenyum.

“Keenakan, ya?” godaku.

Dia mengangguk. Tangannya meraih batang penisku. “Masukin yuk, Pak”

Reni tidak berkata-kata lagi karena mulutnya kusumbat dengan suatu ciuman bibir yang panas dan panjang. Lidah kami saling membelit, menghisap, dan menjilat-jilat. Sementara itu kedua buah dadanya habis kuremas-remas. Kurasakan sepasang payudara indah itu telah amat keras dan padat. Lalu kembali kuraba selangkangannya. Memeknya merekah menyambut usapan jariku, dan kelentitnya menyembul. Basah.

Sengaja aku mencium bibir Reni agak lama, aku ingin birahinya cepat meninggi. Rasanya aku berhasil. Dia semakin tidak sabar ingin menuntun batang kemaluanku memasuki liang surgawi Reniknya. Aku pura-pura tidak tahu. Tubuhku menindihinya agak menyamping, sehingga batang kemaluanku menekan pahanya. Sambil terus berciuman bibir, justru jemariku yang kembali aktif menggerayangi memek Reni.

Reni yang lebih dulu melepas ciuman. Nafasnya terengah-engah. Birahinya pasti telah cukup tinggi. Kembali terang-terangan dia memintaku segera memasukkan batang kemaluanku. Dia tentu tidak tahu bahwa aku tengah berniat mempermainkannya sedari tadi. Akan kubuat dia merengek-rengek sekaligus akan kuberikan dia kenikmatan yang takkan terlupakan.

Kebetulan sekali telepon berdering.

“Angkat dulu,” kataku.
“Kalo’ dari Ibu, bilang saya ke rumah Nenek.”

Reni mengatur nafasnya terlebih dahulu sebelum mengangkat telepon. Ternyata betul, itu dari istriku. Aneh, kejadian itu malah mendatangkan sensasi yang justru membuat birahiku semakin tinggi. Nikmat rasanya bercumbu dengan babu, sementara dia tengah menelepon dengan istri sendiri.

Maka, kusuruh Reni menelentang di sofa sambil terus menelepon. Kebetulan meja telepon terletak persis di sebelah sofa. Kedua kakinya kukangkangkan lebar-lebar. Kukecup-kecup klitorisnya, membuat Reni tergagap-gagap menjawab telepon.

“Oh, eh, nggak tau, Bu,” katanya.

Rupanya istriku sudah terlebih dahulu menelepon ke rumah ibunya, sehingga dia tahu bahwa aku tidak ada di sana. Tapi tentu saja dia tidak curiga. Dia hanya bertanya mengapa suara Reni terdengar seperti terengah-engah.

“Anusaya tadi lagi di depan, Bu, jadi lari-larian” Reni menjawab sekenanya, sementara pinggulnya mengangkat-angkat saking keenakan memeknya kukenyot-kenyot.

Celaka bagi Reni, istriku mengajaknya ngobrol agak lama. Rupanya dia memesankan banyak hal, terutama yang menyangkut urusan menjaga Gavin. Aku terus menggodanya dengan cumbuan yang justru semakin menggila. Batang kemaluanku bahkan kujejal-jejalkan ke mulutnya, sehingga dia menelepon sambil mengulum. Untungnya dia lebih banyak mendengar daripada bicara. Itu pun kadang-kadang dia agak gelagapan.

“Kamu denger nggak sih?” rupanya suatu ketika istriku bertanya karena merasa tidak mendapat respon.
“Mmm..mmm.” Reni kerepotan melepas batang penisku dari kulumannya.
“Ya, Bu, saya ngerti” Istriku bicara panjang lebar lagi, maka kembali kusuruh Reni mengulum.
“Mmmmm..mm” dia merespon omongan istriku sambil terus mengulum, sementara sebelah tangannya tidak lupa mengocok-ngocok batang penisku.

Lama-lama istriku curiga. Tapi tentunya dia tidak berpikir sejauh itu, dia hanya mengira Reni menelepon sambil makan permen. Reni mengiyakan.

“Iya, Bupermen lolipop,” katanya sambil menjilat topi bajaku yang merah mengkilat. Istriku marah.
“Maaf, Bu” kata Reni lagi.
“Abis, permennya enak bangetth”

Reni semakin berani. Dia kemudian malah berdiri, batang penisku digenggamnya kuat-kuat, lalu dijejalkannya ke mulut memeknya. Kuturuti kemauannya. Sambil berdiri, kutahan pantat bulatnya, kuarahkan batang penisku pada liang memeknya, lalu kutekan perlahan-lahan. Memeknya telah amat basah oleh lendir pelumas, sehingga batang penisku dapat dengan mudah menyelusup. Reni menahan nafas.

“Buuuddahh, ya? Saya maubbhuang airrr.” Berkata begitu, Reni langsung menutup telepon, lalu bermaksud melayani persanggamaan yang baru kumulai.

Dia langsung melingkarkan kedua tangannya di belakang leherku, memelukku erat-erat, lalu mencium bibirku lumat-lumat. Aku balas melumat bibirnya dengan tidak kalah panas. Sementara itu, kedua tanganku meremas-remas pantatnya yang bulat. Reni menggoyang-goyangkan pinggulnya, berusaha agar batang kemaluanku masuk lebih jauh ke dalam memeknya. Aku sendiri tidak bergerak, kubiarkan Reni berusaha sendiri.

Beberapa saat kemudian, Reni melepas ciuman. Nafasnya menghambur, panas memburu seperti lokomotif. Pinggulnya terus menggeliat-geliat, berputar dengan irama lambat. Dia jelas mulai tidak tahan. Dipeluknya tubuhku lebih ketat, lalu dia berbisik persis di telingaku,

“Ayuk, Paak”
“Ayuk apa?” godaku.

Reni tidak menjawab, melainkan mendorong pinggulnya sembari menahan pantatku dengan tangan. Rupanya dia masih dapat mengontrol diri, sedapat mungkin dia tidak ingin kelihatan liar seperti peristiwa pertama tadi malam. Aku tambah bersemangat ingin menggodanya. Pokoknya dia harus merengek-rengek kepadaku!

Sambil mengangkat pantatnya, kuperintahkan Reni menaikkan kedua kakinya lalu melingkarkannya di belakang pantatku. Kedua tangannya melingkar erat di leherku. Sementara itu, kemaluan kami tetap bertaut. Reni mengikik, posisinya persis anak monyet sedang digendong induknya. Aku tahu betul, posisi itu akan mendatangkan kenikmatan yang luar biasa baginya.

Benar saja, sebentar kemudian dia mulai mendesah-desah keenakan. Lebih-lebih setelah aku membawanya berjalan. Setiap aku melangkah, dia menahan nafas, lalu menghamburkannya dengan sedikit erangan tertahan. Semakin cepat aku melangkah, desah dan erangannya semakin kuat.

“Uddah, Paak, uddaahhh.” desisnya setelah beberapa saat. Seperti yang sudah-sudah, itu berarti dia minta aku menyelesaikan permainan karena orgasmenya sudah dekat. Aku berhenti melangkah. Kusandarkan tubuh Reni ke meja makan. Dia mengangkat pantatnya sedikit.

Sebelah kakinya setengah menjinjit ke lantai, sebelah lagi terangkat tinggi ke samping. Memeknya jadi merekah, siap menerima hunjaman batang penisku. Tapi aku hanya menekan perlahan dengan gerakan satu-dua. Reni jadi penasaran.

“Ayuk, Paak” pintanya lagi seperti tadi.
“Ayuk apa?” godaku lagi.

Reni kembali tidak menjawab. Digeliatkannya tubuhnya sambil membuang wajahnya jauh ke belakang. Aku memutar pinggulku, lalu menekan lagi satu-dua. Pelan sekali.

“Yang kenceng dong, Paak…” desah Reni akhirnya.
“Begini?” aku mempercepat gerakanku dua-tiga kali.
“Yah, yah, terrusss”
“Enak, Ren?”
“Enak bangetts”
“Kamu doyan?”
“Doyan bangettt, adduuuhhhh, yahh, yaahhh.”

Kulambatkan lagi gerakanku.

“Emangnya begini nggak enak?” godaku.
“Enaak, tapi Reni mau yang kenceng…!!”
“Gini?” kucepatkan lagi gerakanku.
“Iyyahhh, terruuusss”
“Enak, Maah?”
“Enak”
“Bilang dong! Bilang enak, bilang kamu doyan…”
“Enak, Reni doyan”
“Doyan apaan?”
“Aaang, Bapak?!” Reni tersipu-sipu
“Ya udah, kalo’ nggak mau bilang” Aku berpura-pura bergerak hendak mencabut penisku.

Reni buru-buru menahan pantatku.

“Iya, iya, Reni bilang! Reni doyan.” mata Reni semakin sayu dan suaranya berbisik lirih namun sangat jelas,
“doyan.. ngenthooot!”

Kucepatkan gerakanku sebagai “upah” karena dia sudah mau bicara terus terang. Matanya terpejam sedikit. Aku melambat lagi. Reni membuka mata kembali, tatapannya bertambah sayu. Kujulurkan lidahku, dia menyambut dengan juluran lidah pula. Ujung lidah kami beradu, bermain-main beberapa saat, lalu kembali kami berciuman. Lumat, tandas, sementara pinggulku bergerak maju-mundur mulai semakin cepat.

Ketika ciuman kulepaskan, Reni merebahkan badannya, telentang di atas meja. Dia nampak amat tidak berdaya diamuk birahi. Orgasmenya pasti sudah dekat. Aku hampir tidak tega, tapi aku ingin mendengar omongan-omongan joroknya seperti semalam. Aku suka erotisnya.

Maka gerakanku kuatur sedemikian rupa agar rasanya menggantung. Lambat tidak, cepat pun tidak. Sesekali bahkan kudiamkan batang penisku terbenam sebagian di liang memeknya, lalu kuputar-putar pinggulku. Reni mengerang-erang, mendesah, menggeliat, dan mulai lupa diri.

“Bapaak, ayuk, doongâ..” desah gadis itu akhirnya. Suaranya bergetar menahan birahi.
“Ayuk apa?”
“Ngenthooothh., Reni mau ngentot sama Bapak, Reni doyan penis BapaakPenis Bapak enak, gemuk, panjang, memek Reni rasanya penuh bangettt”
“Ini kan kita lagi ngentot?”
“Iya, tapi yang kenceng atuuuh! Reni nggak kuat, Paak…, Reni hampir keluar!”
“Begini?” kucepatkan lagi gerakanku.
“Yah, yah, terruuuss, yaaaahhh.”

Terus kucepatkan hunjamanku. Lebih cepat, semakin cepat, cepat sekali. Reni sampai menjerit-jerit. Tubuhnya menggelepar-gelepar di atas meja. Keringatnya menciprat ke mana-mana. Birahinya tinggal selangkah lagi mencapai puncak.

“Ennaknya, Paak.., enak bangeeettt, teruuuuussss., yah, yaaaahhh, yaaaaahhh.”
“Saya hampir keluar, Maah”
“Reni juga, Reni juga. Bareng, Pak, bareng, haahhh, haaahhhh.”
“Uuuuhhhhhâ, enaknya ngentot sama kamu, Maah., uuuuhhhhhhh.!!!”
“Oooohhhhh., terus, Paak, yang kenceng! Yang kenceng! Yaaaahhhhh., terruuuss”
“Memek kamu sedap banget, Maah.”
“Penis Bapak mantep., enaakkk, yaahhh, terrruuuss, Reni hampir keluaaar”

Aku memompa tanpa henti, sampai tiba-tiba tubuh telanjang Reni mengejang. Pantatnya terangkat tinggi-tinggi, seakan hunjaman batang penisku masih kurang dalam dan kuat. Dia telah mencapai orgasmenya yang kedua. Saat itu gerakan pinggulku luar biasa cepat dan kuat, sehingga Reni menggapai puncak birahinya dengan menjerit panjang. Aku sendiri mencapai klimaks beberapa detik setelah itu. Air maniku menyembur-nyembur seakan tak mau berhenti.

Crot! Crot! Crot! Banyak sekali. Nikmatnya tak terkatakan.

Reni tersenyum memandangiku dengan nafas masih agak tersengal. Wajah manisnya kembali nampak lugu. Aku jadi gemas, kutindihi tubuh montok Reni yang bersimbah peluh. Kuciumi mukanya. Dia menikmati kecupan-kecupanku dengan memejamkan mata.

“Enak, Maah?” tanyaku berbisik tepat di telinganya.
“Enak banget, PakReni sampe’ lemes!”

Kembali kuciumi sekujur muka Reni. Kening, mata, hidung, pipi, juga telinga. Keringatnya kujilat-jilat. Terakhir kami berciuman bibir lagi, sementara batang penisku kubiarkan menancap pada memeknya yang banjir oleh lendir. Nikmatnya masih terasa.


“Saya seneng ngentot sama kamu, Ren,” bisikku jujur setelah itu. “Soalnya enak banget!”
“Apalagi Reni. Nggak mimpi deh bisa ngerasain enak sama laki-laki hebat kayak Bapak!”
“Hebat apanya?”
“Semuanya! Orang kaya, baik, cakep, gagah, mainnya pinter!”
“Kita bisa begini tiap hari kalo’ kamu mau.”
“Kalo’ ada Ibu?”

Aku tidak bisa menjawab. Kuputus pembicaraan dengan berciuman lagi beberapa saat. Akibatnya, kembali nampak tanda-tanda bahwa permainan masih akan berlanjut. Reni membelai-belai wajahku sementara matanya memandangiku. Lalu dia bergumam lirih,

“Reni takut nggak bisa beginian kalo’ ada Ibu”

“Jangan dipikirin, Ren,” bisikku.
“Yang penting, kamu harus tau bahwa saya ketagihan main sama kamu. Saya kepingin kita beginian terus. Pagi, siang, sore, malem.”
“Reni juga.”
“Sekarang kita masih punya waktu lima jam sebelum saya jemput si Gavin. Kamu masih kepingin, kan?”

Reni tersenyum sambil mengerjapkan mata, maka permainan pun berlanjut beberapa ronde lagi. Di dalam kamar tidurku, di kamar mandi, juga di dapur. Sungguh, nikmatnya seperti tak pernah habis.

Untuk Informasi Lebih Lanjut
Hubungi Kami Melalui :

LiveChat : INIPOKER
Line : inipoker
Wechat : inipoker88
Whatsapp : +855 927 644 08

0 Response to "PetikMangga69 - RENI PEMBATU PALING MENGERTI AKU"

Post a Comment